Karya: Putri Kharisma (Empal) UKMK LIT-BANG
ABSTRAK
Kebudayaan dalam masyarakat sangatlah penting untuk semua masyarakat salah satunya adalah kita sebagai masyarakat seharusnya peduli akan kebudayaan yang ada di indonesia terkhusunya di suatu daerah. Masyarakat seharusnya bangga akan tradisi sebagai kebudayaan yang sangat mahal nilai nya. Dalam konteks ini semua orang berhak melestarikan dan mengembangkan tradisi ini, baik didaerah tersebut ataupun diluar daerah.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan secara literatur ditemukan beberapa persoalan mengenai minimnya kecintaan terhadap budaya sendiri. Dari hasil analisis tersebut diharapkan agar masyarakat dapat mengembangkan tradisi lubuk linggau agar tidak hilang ditelan moderalitas.
Kata kunci: Kebudayaan, tradisi, dan pelestarian
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya. Untuk dapat berkembang biak untuk melestarikan hidup manusia, Allah tidak menjadikannya manusia seperti makhluk lain yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara nalurinya dan berhubungan secara anarki (keras tanpa aturan). Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah menciptakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan itu telah saling terkait.
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup. Sehingga perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang bahagia baik itu didunia maupun diakhirat nanti. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup bekeluarga yang diliputi rasa suatu hidup bekeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentuan-ketentuan (mawaddah waramah) dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah SWT.
Adapun pengertian nikah yang dikemukakan dalam Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), bahwa pernikahan adalah ikatan bathin (jiwa) antara seseorang pria dengan seorang wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perincinya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-Undang tersebut dan peraturan pelaksanaanya.
Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, dimana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Sementara itu, perkawinan menurut pengertian di Lubuk Linggau adalah pembentukan suatu keluarga yang dilakukan dengan suatu ikatan pribadi antara seorang pria dan wanita dengan restu dan persetujuan dari semua sanak famili. Dalam suatu pernikahan, adat tradisi khas Lubuk Linggau sangat unik dan khas. Tradisi ini juga sudah jarang ditemukan karena sekarang pernikahan di daerah ini sudah seperti masyarakat pada umumnya, hanya dipahami oleh sebagian masyarakat Linggau, khususnya para sesepuh dan para pemangku adat.
Selain itu kurangnya generasi muda yang tidak mengetahui secara pasti dan tidak berminat untuk menggali dan melestarikan daerahnya sendiri. Padahal mereka merupakan pewaris nilai-nilai tradisi leluhur. Dengan adanya penulisan ini akan adanya kesadaran dan kepedulian kita terhadap kebudayaan di daerah, sehingga tidak ditelan modernitas.
TUJUAN
Dapat mengetahui budaya pernikahan khas dari daerah Lubuk Linggau.
Dapat memahami tradisi yang perlu diperhatikan sebelum menjelang prosesi pernikahan.
Dapat mengetahui bagaimana kebudayaan yang dilakukan saat prosesi pernikahan.
Dapat mengetahui bagaimana upaya untuk mempertahankan keberadaan tradisi tradisi tersebut.
METODE LITERATUR
Dalam analisis masalah artikel ilmiah ini, penulis menggunakan metode literatur. Penulis menggunakan berbagai macam sumber pustaka dan data sensus internet yang menjelaskan tentang minimnya pelestarian budaya khas lubuk linggau. Untuk memperoleh data/informasi penulis mengolah data dari berbagai jenis sumber berita internet. Berbagai macam sumber referensi yang ada menjadikan penulisan artikel ilmiah ini berjalan dengan baik.
PEMBAHASAN
Budaya Pernikahan Khas Daerah Lubuk Linggau
Propinsi Sumatera Selatan khususnya Kota Lubuklinggau memiliki karakteristik daerah religius dan ditopang dengan budaya bermasyarakat yang luhur, serta memilki filosofi kehidupan bermasyarakat yang tinggi. Hal ini tercermin dari produk budaya tradisional daerah, seperti upacara adat perkawinan, upacara adat mandi kasai, seni tari, dan jenis seni budaya lain, ditenggarai memiliki filosofi kehidupan yang tinggi, dimana nilai-nilai filosofi tersebut dikemas dengan simbol-simbol warna, simbol gerak, simbol suara, serta simbol ungkapan dan sindiran yang mencerminkan pepatah dan petunjuk hidup dan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai filosofi tersebut perlu digali dan dipahami oleh segenap masyarakat Linggau, terutama generasi penerus bangsa, sehingga mereka mengerti secara benar makna kehidupan dan tradisi adat Linggau yang berlandaskan keseimbangan antara perilaku manusia dengan putaran waktu dan sistem alam semesta.
Prosesi adat perkawinan Naek Tiang Kule merupakan kegiatan budaya yang berkembang di Kota Lubuklinggau sejak jaman dahulu dan tetap lestari yang merupakan bagian dari budaya Indonesia dan Dunia. Naek Tiang Kule adalah peristiwa budaya yang merupakan bagian dari proses adat perkawinan. Naek Tiang Kule merupakan proses Rasan Berasan yang harus diketahui oleh pemerintah setempat. Bila proses ini selesai, maka Dere akan menyandang status Nyan dan Bujang akan menyandang status Tunang. Sebagai tanda, ibu dari Bujang akan memberikan rebang kepada Dere untuk dikenakan dan rebang harus dipakai hingga proses pernikahan. Begitu juga sebaliknya, ibu dari Dere akan memberikan selendang untuk dikenakan oleh Bujang.
Dalam prosesi penikahan sebelum menuju Naek Tiang Kule, didahului dengan pemberian Gan oleh Bujang kepada Dere (Gadis). Gan merupakan tanda dari pihak Bujang kepada pihak Dere bahwa mereka akan mengikat janji untuk menuju gerbang pernikahan. Biasanya berupa sen, pisau, cincin dan sapu tangan. Sen memiliki makna simbol penghargaan dari bujang kepada dere. Pisau memiliki makna semangat untuk membentuk kehidupan keluarga sakinah, mawwadah, warrohmah. Cincin memiliki makna bahwa si Bujang ingin sekali mengikat Dere dalam ikatan perkawinan. Gan biasanya diberikan Bujang kepada Dere tiga hari sebelum Proses Nyusuk Rasan Kule.
Setelah Bujang memberikan Gan kepada pihak Dere, maka Bujang mengabarkan kepada keluarganya, bahwa ia berniat untuk memperistri sang Dere. Maka berkumpullah pihak keluarga Bujang, dan mereka menunjuk Ketue Rasan. Ketue Rasan adalah orang yang dianggap mampu untuk menyampaikan maksud dan kehendak kepada pihak Dere. Kemudian si Bujang akan mengabarkan kepada pihak Dere bahwa keluarga Bujang akan bertandang ke-keluarga Dere. Mendengar berita tersebut, maka Dere juga akan menyampaikan kepada keluarganya akan rencana kunjungan dari keluarga Bujang.
Kemudian pihak Bujang beserta keluarga datang ke rumah Dere, proses ini disebut Rasan Berasan, biasanya pihak keluarga Bujang membawa gula, kopi, beras, kelapa, ayam, dan lain sebagainya. Kemudian kelengkapan untuk Nyusuk Rasan Kule, sirih masak, kapur, gambir dan pinang serta pinggan kecil. Sirih dilipat sebagai lambang penghormatan, Gambir bermakna pembicaraan harus manis, Pinang lambang Kitab Simbur Tjahaye, Kapur bermakna membasmi hal-hal yang jahat dan tidak baik.
Rombongan pihak Bujang disambut oleh Keluarga Dere, memasuki tempat yang telah ditentukan. Setelah itu, Ketue Rasan akan menyodorkan pinggan kecil yang berisi sirih masak, dengan tampuk sirih kearah Ketue Rasan Dere. Usai Ketue Rasan Bujang menyodorkan pinggan kecil berisi sirih masak, maka Ketue Rasan Dere akan menekan sirih masak tersebut dan memutarnya tampuknya kembali kearah Ketue Rasan Bujang, ini berarti bahwa Ketue Rasan Dere mempersilahkan Ketue Rasan Bujang untuk berbicara menyampaikan maksud dan tujuan mereka, dengan Haramba, yaitu: “Atak ayak si atak ayak, atak ayak lore temege, sirih pinang ku atur dulu, atak ayak ku ngatur kate, sembah ku ngiring mangunian. Ayolah besan makan sirih, sirih kalakap pinang talang, sirih dak cukup pinang kurang, kak lah oleh Bujang Alap”. Kemudian dibalas oleh Ketue Rasan Dere, “Ayolah calon besan, name semaje ponga, kami siap untuk nerime”.
Setelah berbalas Haramba, Ketue Rasan Bujang dan Ketua Rasan Dere terlibat dalam pembicaraan seputar maksud dan tujuan dari rombongan Bujang. Kemudian Ketue rasan Bujang membuka pembicaraan dengan menggunakan bahasa daerah setempat “Kami kak ade semaje, menurut kabar dari sang Bujang kami, di uma kak ade Dere, kabar a Bujang ngan Dere kak la bebusik, begurau ngan Dere, ulasa la lame bebusik ade kate sepakat, Bujang kami nak minang Dere hikak”.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Ketue Rasan Bujang, Ketue Rasan Dere memanggil Dere untuk mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Saat itu juga, Dere keluar dan menjelaskan kebenaran yang disampaikan oleh pihak Bujang sambil memperlihatkan Gan.
Apabila Ketue Rasan Bujang menyanggupi permintaan dari Ketue Rasan Dere, maka masuk ke proses Naek Tiang Kule, yaitu proses rasan berasan yang harus diketahui oleh pemerintah setempat. Bila proses ini selesai, maka Dere akan menyandang status Nyan dan Bujang akan menyandang status Tunang. Sebagai tanda, ibu dari Bujang akan memberikan rebang kepada Dere untuk dikenakan dan rebang harus dipakai hingga proses pernikahan. Begitu juga sebaliknya, ibu dari Dere akan memberikan selendang untuk dikenakan oleh Bujang. Kemudian dilanjutkan dengan Sembah Sujud yang dilakukan oleh Bujang dan Dere kepada kedua orang tua, nenek, kakek, paman, bibi, dan kerabat dari kedua belah pihak.
Biasanya 20 hari setelah hari rasan berasan, pihak Tunang akan melakukan proses Ngatat Dendan. Ngatat Dendan menyerahkan permintaan atau beban tugas yang pernah disampaikan oleh Ketue Rasan Dere kepada Ketue Rasan Bujang sewaktu proses Nyusuk Rasan Kule. Ketue Rasan Tunang menyampaikan seluruh permintaan yang pernah dibebankan kepada mereka, setelah itu ditentukan waktu pelaksanaan pernikahan. Sebagai catatan, apabila terjadi rasan urung yang dilakukan oleh pihak Dere, maka Dere akan membayar denda 2 x lipat dari permintaan yang pernah diajukan
kepada pihak Bujang, begitu juga bila rasan urung dilakukan oleh pihak Bujang juga akan dikenakan denda, Gan tidak akan dikembalikan ke Bujang dan harus membayar Ubat Asek Dere sesuai dengan kesepakatan.
Dari uraian di atas terlihat jelas nilai-nilai budaya yang begitu luhur yang tercermin dalam proses upacara adat perkawinan tersebut. Sampai saat ini budaya tersebut masih dapat dijumpai di beberapa daerah dalam wilayah Kota Lubuklinggau. Namum peristiwa budaya tersebut hanya dipahami oleh sebagian masyarakat Linggau, khususnya para sesepuh dan para pemangku adat, tapi para generasi mudanya tidak mengetahui secara pasti dan tidak berminat untuk menggali dan melestarikan kekayaan seni budaya daerahnya sendiri. Padahal mereka merupakan para pewaris nilai-nilai luhur seni dan budaya. Diharapkan dengan tulisan yang sederhana ini mampu menggugah kesadaran dan kepedulian kita terhadap seni dan budaya daerah. Sehingga mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Tradisi Sebelum Prosesi Pernikahan
Masyarakat nusantara memaknai siklus kehidupan seperti menikah, mengandung, melahirkan, dan meninggal sebagai suatu kejadian yang harus dilewati dengan berbagai upacara. Uniknya, setiap daerah di nusantara mempunyai upacara dan tradisi yang berbeda-beda. Salah satunya seperti tradisi menjelang pernikahan pada masyarakat Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Dalam bhineka tunggal ika setiap masyarakat dihargai dengan berbagai macam perbedaan terutama dalam budaya Salah satunya seperti tradisi menjelang pernikahan dan tradisi mensyukuri panen pada masyarakat Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Di Lubuklinggau sendiri memiliki budaya atau tradisi berupa mandi kasai saat melaksanakan pernikahan, juga sedekah rame dimana kegiatan ini merupakan gabungan dari budaya berbahasa, budaya bermasyarakat dan budaya hidup masyarakat kota lubuklinggau.
Tradisi menjelang pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Lubuk Linggau adalah Mandi Kasai. Tradisi Mandi Kasai dilakukan dengan memandikan sepasang kekasih di sungai yang disaksikan oleh teman dan kerabat mereka. Tradisi ini mempunyai dua makna, pertama adalah sebagai pertanda sepasang kekasih calon pengantin akan meninggalkan masa remaja dan memasuki kehidupan berumah tangga. Makna kedua, Mandi Kasai akan membersihkan jiwa dan raga sepasang kekasih yang akan menikah.
Mandi kasai umumnya dilaksanakan disungai. Jika tempat mandi kasai disungai tidak memungkinkan maka terpaksa melaksanakan mandi kasai didarat. Menyediakan drum sebagai tempat menampung air setidak nya tiga atau empat buah drum. Air diangkut dari sungai dan dimasukkan kedalam drum. Dengan bahan-bahan lain yang menjadi ke-khas-an seperti Tikar sembuhak Telasan atau bahasan mandi, pakaian pengantin setelah selesai mandi, bedak serigayu (tiga warna), benang tiga warna Mangkuk langer, berisi jeruk nipis, kayu balik angina, tiang lepas dan setawar sedingin.
Mandi kasai sendiri bermakna sebagai pelindung pernikahan atau tameng penjagaan untuk pernikahan sebab sebelum dilakukannya proses mandi, pengantin diberikan berbagai macam nasehat dengan bahasa daerah melalui rejungan, pantun dan lain-lain.
Selain Mandi Kasai di Lubuklinggau sendiri memiliki satu lagi tradisi yakni sedekah rame, Sedekah Rame atau lepung dusun adalah upacara adat yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat sumatra selatan terutama masyarakat batu urip bertujuan untuk menolak balak dan mendatangkan rezeki. Sedekah rame biasanya dilakukan minimal dua tahun sekali, tapi bisa juga dilakukan ketika ada musibah ataupun hal yang baik seperti pembangunan jembatan, masjid, dan lain-lain.
Sedekah yang dilakukan sejak 350 tahun lalu ini dibawa oleh leluhur orang linggau yang bernama Kerengak, Kriya aris, Kriya mambul dan kejogil setelah mereka pergi ke palembang untuk mempelajari kebudayaan yang terdapat disana .
Kriya Mambul adalah salah satu nenek moyang yang memperkenalkan tentang Sedekah Rame dan Mandi Kasai. Para leluhur ini berhilir mudik ke Palembang untuk mempelajari kebudayaan- kebudayaan yang ada di Palembang dan pada waktu itu mulai dikembangkan di Lubuk Linggau hingga sekarang, hingga saat ini keturunan para leluhur sudah generasi ke-7.
Sedekah Rame diawali dangan menyusun makanan yang dibawa oleh warga tertentu seperti pemerintah adat dan orang yang masih memiliki tali persaudaraan dengan pemerintah adat dan pemegang pusaka, contohnya :
1.Punjung ayam putih pucat 2. Punjung ayam putih kuning 3. Punjung ayam kumbang.
Setelah itu, di lanjutkan dengan pembacaan mantra oleh ketua adat. Setelah pembacaan selesai baru di perlihatkan benda-benda pusaka dan menyebutkan keistemewaannya.
Acara selanjutnya, yaitu pelepasan Jong ( kapal kecil yang terbuat dari batang pisan dan atapnya dari daun kelapa )yang berisi ; mokot mang batepang dan bubur empat bang. Dan mengakhiri upacara Sedakah Rame dengan makan bersama, pada tahap makan bersama inilah Sedekah Rame dimaksudkan dapat menjadi kegiatan mempererat silahturahmi.
Pada bulan April 2016 kemarin upacara adat sedekah rame ini kembali dilakukan melalui kegiatan JETRADA atau jejak tradisi daerah, dengan bertempatan di Batu Urip anak-anak yang berasal dari berbagai daerah lain mampu memperoleh dan mengetahui bagaimana proses sedekah rame ini.
Dari berbagai macam kebudayaan dapat kita lihat betapapun Indonesia merupakan Negara lumbung padi, bukan hanya kaya rempah dan beragam kekayaan alam namun jauh di dalamnya, nusantara memiliki satu hal yang sangat berharga yakni keanekaragaman budaya dan adat. Yang perlu digaris bawahi kebudayaan seperti upacara adat salah satu nya sedekah rame dan mandi kasai ini membuktikan bahwa masyarakat memiliki cara tersendiri untuk mempererat tali persaudaraan, menolak bala juga bersyukur.
Dari sabang hingga merauke rasa syukur dan kebanggaan itu dipersatukan melalui budaya Indonesia yang mengajarkan banyak hal tentang bagaimana cara menjalankan hidup, seperti toleransi yang terdapat pada budaya bertutur, lagi-lagi setiap masyarakan akan diajarkan bagaimana hidup akan indah dan nyaman ketika kita mampu saling menghargai juga toleransi.
Tujuan dari diadakannya tradisi Mandi Kasai adalah sebagai sarana menghormati leluhur dan melestarikan serta menjaga keragaman budaya dari Lubuk Linggau. Masyarakat setempat pun sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka dengan menurunkannya pada para generasi muda.
Kebudayaan yang dipentaskan saat prosesi pernikahan
Kebudayaan = cultuur (bahasa belanda) – culture (bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa arab), berasal dari perkataan latin: dan menggembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Ditinjau dari sudut bahasa indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidayah, yang bearti daya dan budi. Karena mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.
Jadi, secara garis besar bahwa kebudayaan merupakan sistem ilmu pengetahuan, keseniaan, moral, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang di lakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Didaerah khususnya kota Lubuk Linggau memiliki tarian kreasi yang dibuat agar generasi sekarang tidak melupakan tradisi peninggalan leluhur.
Menurut Denny(pencetus tarian kreasi) ,“Kami berusaha menggali tradisi-tradisi lama yang sekarang banyak ditinggalkan, seperti Mandi Kasai itu salah satunya. Tradisi tersebut kami kolaborasikan dengan yang modern biar kelihatan lebih menarik.”
Pernikahan Bujang Gadis Lubuk Linggau dipentaskan ke atas panggung sebagai tarian kreasi. Tari kreasi ini dipentaskan oleh laki-laki dan perempuan dengan mengenakan pakaian adat yang kerap dipakai oleh masyarakat desa di Lubuk Linggau dalam kesehariannya, yaitu baju kurung dengan bawahan kain songket, dilengkapi penutup kepala yang disebut tanja. Sementara dari garapan musiknya, tarian ini diiringi oleh musik digital yang dipadukan dengan sentuhan alat musik tradisional, seperti kendang, kromong, rebana, dan akordian sebagai ciri khas musik melayu Sumatera.
Garapan kreasi ini menggunakan tiga latar belakang tempat sebagai pembangun cerita. Ketiga tempat tersebut adalah suasana pedesaan, sungai, dan tempat pernikahan. Tiga latar tempat itu dibangun dengan bantuan multimedia, sehingga membantu penonton dalam memahami alur yang dikisahkan dalam tarian. Terinspirasi dari tradisi unik Mandi Kasai, pementasan menyimpan amanat yang dalam tentang arti penting menjaga dan melestarikan tradisi adiluhung peninggalan leluhur. “Modernisasi ini bukan berarti meninggalkan tradisi yang ada. Kami ingin menceritakan, tradisi itu penting di zaman sekarang, jangan sekali-sekali melawan tradisi, tapi bukan berarti menolak modernisasi,”.
Upaya Mempertahankan tradisi Lubuk Linggau
Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal yang ada dalam masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang anggota masyarakat khususnya kita sebagai generasi muda dalam mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga budaya lokal diantaranya adalah: 1. Mau mempelajari budaya tersebut, baik hanya sekedar mengenal atau bisa juga dengan ikut mempraktikkannya dalam kehidupan kita. 2. Ikut berpartisipasi apabila ada kegiatan dalam rangka pelestarian kebudayaan, misalnya :
Mengikuti kompetisi tentang kebudayaan, misalnya tari tradisi atau teater daerah.
Ikut berpartisipasi dengan mementaskan budaya tradisonal pada acara ataupun kegiatan tertentu, seperti pada saat perayaan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa, mengadakan pementasan ketoprak yang berbau perjuangan, dan lain-lain.
3. Mengajarkan kebudayaan itu pada generasi penerus sehingga kebudayaan itu tidak musnah dan tetap dapat bertahan. 4. Mencintai budaya sendiri tanpa merendahkan dan melecehkan budaya orang lain. 5. Mempraktikkan penggunaan budaya itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya berbahasa. 6. Menghilangkan perasaan gengsi ataupun malu dengan kebudayaan yang kita miliki. 7. Menghindari sikap primordialisme dan etnosentrisme.
Dari uraian diatas bahwa ada beberapa cara untuk mempertahankan kebudayaan, kita harus bangga akan banyak nya budaya dinegeri kita sendiri. Pentingnya kepedulian kita terhadap seni budaya daerah merupakan bagian dari budaya Indonesia, akan menciptakan kecintaan kita pada seni dan budaya yang berakar pada karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga akan memperkaya pemahaman kita terhadap perkembangan seni budaya sendiri. Siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya daerah dan kekuatan lokal, jika tidak kita sendiri. Semoga pemikiran yang sederhana ini setidaknya mampu menjadi semangat bagi kita untuk menggali dan melestarikan seni budaya daerah, jangan sampai hilang begitu saja tanpa ada upaya pelestarian.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bagi seluruh elemen masyarakat Linggau tentang makna seni dan budaya daerah bagi kehidupan manusia, sehingga mampu berfungsi sebagai wahana pencerahan bagi nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang secara turun menurun, sehingga tidak hilang ditelan modernitas.
PENUTUP
KESIMPULAN
Propinsi Sumatera Selatan khususnya Kota Lubuklinggau memiliki karakteristik daerah religius dan ditopang dengan budaya bermasyarakat yang luhur, serta memilki filosofi kehidupan bermasyarakat yang tinggi. Hal ini tercermin dari produk budaya tradisional daerah, seperti upacara adat perkawinan, upacara adat mandi kasai, seni tari, dan jenis seni budaya lain, ditenggarai memiliki filosofi kehidupan yang tinggi, dimana nilai-nilai filosofi tersebut dikemas dengan simbol-simbol warna, simbol gerak, simbol suara, serta simbol ungkapan dan sindiran yang mencerminkan pepatah dan petunjuk hidup dan kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai filosofi tersebut perlu digali dan dipahami oleh segenap masyarakat Linggau, terutama generasi penerus bangsa, sehingga mereka mengerti secara benar makna kehidupan dan tradisi adat Linggau yang berlandaskan keseimbangan antara perilaku manusia dengan putaran waktu dan sistem alam semesta.
SARAN
Dalam hal ini banyak masyarakat Lubuk Linggau tidak mengenal tradisi pernikahan dari leluhur mereka sendiri, maka dari itu harapan bagi kita dapat mengenal kebudayaan yang berasal dari Lubuk Linggau ini. Dengan mengetahui tradisi tersebut maka kita akan melestarikan kekayaan seni budaya daerah sendiri. Kita juga mesti melakukan suatu upaya untuk tetap mempertahankan tradisi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman Ghazaly, Abd dan Fikh Munakahad.2013.Pernikahan Dalam Islam. Jakarta: Kencana.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Masa Kini .Padang: Pd. Intissar.
Soemiyati.1989 .Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Diambil di Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 1.
Nurul Hidayati, “Budaya Pernikahan dan keseniaan di Lubuk Linggau”, diakses dari http://wong-alap.blogspot.co.id/2015/06/v behaviorurldefaultvmlo.html (diakses pada tanggal 14 juni 2015 pukul 08.36 wib)
Sunita Kasih.“Budaya Wong Linggau”, diakses dari https://sunitakasih.blogspot.co.id/2017/02/budaya-wong-linggau.html. pada tanggal 06 Februari 2017.( diunduh pada 29 november 2017 pukul 20:10 wib)
AhmadIbo /INDONESIAKAYA.COM, “Tradisi Mandi Kasai dalam Pernikahan Bujang Gadis Lubuk Linggau”, diakses dari https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tradisi-mandi- kasai-dalam-pernikahan-bujang-gadis-lubuk-linggau.html.(diunduh pada 29 november 2017 pukul 20:00 wib)
Koentjaraningrat.1959.pengantar ilmu antropologi. Jakarta:Aksara Baru.
Serli Purwanti, “Bumi silampari Memanggil”, diakses dari http://sobatbudaya.or.id/jkt/2015/04/08/bumi-silampari-memanggil/html, pada tanggal 08 april 2015
Darius Nugroho, “Cara Mempertahankan Budaya Daerah”, diakses dari http://dariusernanto.blogspot.co.id/2015/11/cara-mempertahankan-budaya- daerah.html, pada tanggal 18 juli 2016 pukul 02.18.( diunduh pada 29 november 2017 pukul 21:00 wib)
LAMPIRAN
Gambar 1. Foto pernikahan sumber : Budaya Pernikahan dan Kesenian di Lubuklinggau, 2015
Gambar 2. Mandi kasai di Lubuk Linggau sumber : Breaktime, 2016
Gambar 3. Tari Ngantat Dendan sumber : Cerita Budaya, 2016